
Sementara itu, keterbelakangan,
baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia,
akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, menggugah kesadaran
kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan
pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal
dengan Kebangkitan Nasional. Semangat kebangkitan memang terus
menyebar ke mana-mana--setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan
dan ketertinggalannya dengan bangsa lain, sebagai jawabannya,
muncullah berbagai organisai pendidikan dan pembebasan.
Ketika Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas
tunggal yakni mazhab wahabi di Mekah, serta hendak menghancurkan semua
peninggalan sejarah Islam maupun pra-Islam, yang selama ini banyak
diziarahi karena dianggap bi'dah. Gagasan kaum wahabi tersebut mendapat
sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan
Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah
pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang
selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermadzhab dan
penghancuran warisan peradaban tersebut.
Sikapnya yang berbeda, kalangan pesantren
dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta 1925, akibatnya
kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah yang akan mengesahkan keputusan tersebut.
Didorong oleh minatnya yang gigih untuk
menciptakan kebebsan bermadzhab serta peduli terhadap pelestarian
warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi
sendiri yang dinamai dengan Komite Hejaz, yang diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah.
Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun
dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di
dunia, Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya hingga saat ini di
Mekah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab mereka
masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama,
yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil
menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.
Berangkat dari komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc,
maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih
mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman.
Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul
kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy'ari sebagi Rais Akbar.
Untuk menegaskan prisip dasar orgasnisai ini, maka KH. Hasyim Asy'ari merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah.
Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam Khittah NU , yang
dijadikan dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam
bidang sosial, keagamaan dan politik.
0 Comment:
Post a Comment